Dengan Menghilang untuk Sementara Waktu, Apakah Mereka Akan Mengharapkan Kehadiranku?

Momen apa sih yang paling ditunggu ketika Ramadhan tiba? Waktu aku kecil dulu, aku selalu nggak sabar untuk kumpul sama temen-temen satu RW buat tarawih bareng. Beranjak remaja, aku nggak sabar buat bisa dateng ke momen buka bersama bareng temen-temen di sekolah. Mendekati akhir Ramadhan, aku udah list semua persiapan untuk mudik ke Magetan di mana aku bakal kumpul bareng keluarga besar dari ibuku. Namun sekarang, entah kenapa semua itu terasa less-excited dan nggak aku tunggu-tunggu lagi.

Kenapa kok aku bisa merasakan hal yang seperti ini, ya? Ramadhan itu cuma setahun sekali. Mudik juga begitu. Di satu sisi, aku merasa sangat bersalah dengan nggak merasakan hal-hal yang sebelumnya aku sebutkan. I feel like that I have to cherish those moments and live to the fullest. Tapi di sisi lain, aku memang merasa biasa aja, bahkan nggak mau repot-repot meluapkan kebahagiaan untuk hal-hal tersebut. 

Am I turning to be an evil? I don't think so. I'm still a human being. It's "human thing" to feel something like this.

Sepertinya aku merasa Ramadhan kali ini memang jauh berbeda daripada momen Ramadhan yang sebelumnya. Here, I'm struggling for myself to start a new phase of life. Aku berusaha dengan sangat keras untuk menyelesaikan skripsiku sebelum masa studiku benar-benar habis dan beradaptasi dengan pekerjaan baru di dunia profesional yang begitu nyata.


Rasanya naif kalau aku merasa nggak ada beban menjalani 2 hal itu. Aku memang udah terbiasa multi-tasking. Tapi, tetep aja rasanya sedikit berat untuk fokus lompat dari pekerjaan satu ke pekerjaan yang lain. Rasanya cukup stress dengan status belum lulus, sementara saudara sepupu yang baru 3,5 tahun kuliah di Jogja udah lulus dan wisuda lebih dulu daripada aku.

Depresif banget rasanya. Feels like I got double attacks. Hal ini pun sempat membuatku dendam dan akhirnya meledak saat dia ke rumahku tapi nggak nyapa aku sama sekali. "Sombong banget sih 3 tahunan di Jogja nggak pernah ngabarin saudara di Jogja dan nggak pernah komunikasi sama sekali", pikirku waktu itu. Turns out, she had a hard time too with her family's condition. Semua kesalahpahaman ini bikin aku makin merasa bersalah dan malu buat ketemu saudara-saudara lain, walau sebenarnya kami udah saling memaafkan dan introspeksi diri. 


It leads me to be insecure. I don't want to meet people because I think I'm gonna hurt them with my words and my acts. This one is what I ahet the most from myself and somehow I can't forgive what I did. Aku pikir, mungkin itu alasannya kenapa aku makin males untuk ketemu orang-orang, termasuk dengan temen-temenku dan keluargaku sendiri. Miris. Aku merasa mereka adalah orang-orang yang paling sayang sama aku, tapi aku malah bersikap sebaliknya sama mereka. Somehow, I have no idea how to maintain these relationships.


Guys, I'm afraid. I have this thing that I can't control sometime. Sebelumnya aku sempat berpikir kalau aku orang yang senang bersosialisasi. Well, I am! Tapi di beberapa kesempatan, aku bersikap nggak sepantasnya sampe aku merasa bersalah banget dan nggak pengen ketemu sama siapapun. I just want to be on my own and hoping someone will give a hand and put me out of my misery. Nggak bisa aku pungkiri, di dalam hati kecilku, sempat terpikirkan untuk menghilang sementara waktu dan melihat bagaimana reaksi orang-orang (yang aku anggap dekat) saat aku tidak ada di momen di mana aku seharusnya bersama mereka. 

Call it childish. Yes, somehow, it is. Tapi memang itu yang sebenarnya aku pikirkan saat aku berusaha untuk menjauh dan menghilang dari pandangan mereka. Di samping itu, dengan tidak berkumpul bersama orang-orang yang aku sayang, aku merasa bisa lebih fokus mengurus diriku sendiri. Ini bukan bagian dari drama. Ini yang sepantasnya aku jalani dan ini realita.


Life can be so dramatic even when you do nothing wrong. Believe me. Menurutku, ini cara Allah SWT menegurku to get back to the right track and focus. Selama ini aku selalu menghabiskan waktu bersama mereka yang terkadang aku sia-siakan keberadaannya saat kami bersama. Sekarang, apakah aku bisa tahan dengan tidak adanya diriku di antara hangatnya keberadaan mereka?

Semoga semua ini bisa jadi pembelajaranku untuk jadi pribadi yang lebih baik. Buat kamu yang sempat atau bahkan sedang merasakan hal yang sama, boleh share denganku di kolom komentar, ya! See you on the next post!

Post a Comment

4 Comments

Djangkaru Bumi said…
Hidup semakin keras dan susah, setelah beranjak dewasa. Ada kerinduan ingin menjadi anak anak kembali. Ingin bermanja dengan orang tua, ingin tertawa tanpa ada tangisan. Tapi hidup tetap harus dijalani. Dan tetap harus bersosialisasi walau sepadat apaun routinitasnya. Karena disanalah tempat mematangkan jiwa. Disanalah tempat kina nanti setelah menuntut ilmu di perkuliahan.
Hanifa said…
Siap. Terima kasih mas :')
zaenudin said…
saya juga pernah merasakan hal yang sama mba, tapi waktu itu saya langsung meminta maaf atas kesalahan saya setelah mendapat nasehat dari teman yang ternyata lebih banyak pengalaman hidupnya.

mungkin mba juga bisa melakukan hal yang sama.

http://zhaenudin.blogspot.co.id/
Hanifa said…
Maaf Mas, saya nggak tahu apakah mas sudah baca secara detail apa yang saya tuliskan. Saya sudah minta maaf, kondisi kami semua baik-baik saja. Tapi di sisi lain, saya ingin menyendiri dulu untuk merenungkan apa yang sudah saya perbuat selama ini dan apa langkah baik ke depannya.

Terima kasih atas sarannya Mas. Saya selalu langsung minta maaf kok kalau memang benar salah :)