Makin Berdaya dan Setara Melalui Program Barista Inklusif


Ngopi. Aktifitas yang sering dilakukan banyak orang dan menjadi tren yang makin kekinian. Dulu waktu sekolah, saya sering ngopi juga untuk menjaga mata supaya nggak gampang ngantuk, terutama saat musim ujian. Ritual ngopi yang saya lakukan pun seadanya saja. Cuma modal kopi sachet yang per gelasnya nggak sampe Rp 5.000,- mungkin.

Beranjak dewasa, saya makin jauh dari kopi sachet. Bukan karena nggak enak, tapi kayanya udah nggak mempan aja gitu. Entah saya yang ngantukan atau kopi macem itu memang nggak mempan bikin saya melek lebih lama. Dari situ, saya membatasi konsumsi kopi dan beralih ke minuman lain yang non-kopi.

Sebenernya saya pengen sih bisa mengonsumsi kopi. Tapi kalau kopi beneran, saya kurang suka dengan rasanya. Biasanya sih nggak disarankan untuk dibubuhi gula karena rasanya jadi nggak otentik. Jadi kalau di kafe, saya lebih suka beli minuman dengan rasa green tea atau yang lain. Pokoknya nggak kopi-kopian karena udah nggak cocok duluan sama rasanya.

Kopi dan Daya Tariknya dalam Karya Sastra

Walau begitu, kopi masih punya daya tarik tersendiri yang bikin saya penasaran dan pengen mempelajarinya lebih dalam: proses pembuatannya. Dulu sebelum ada film semacam Filosofi Kopi, saya pikir bikin kopi yha bikin aja. Tinggal tuang, seduh, sajikan, beres! Tapi ternyata nggak gitu. Proses meracik kopi hingga akhirnya tersaji untuk dinikmati nggak hanya sekedar “bebikinan” aja, tapi juga ada seni tersendiri di balik pembuatannya.

Selain Filosofi Kopi, karya yang juga bikin saya penasaran seputar kopi lebih jauh adalah cerita bersambung milik Bernard Batubara berjudul “Espresso” yang mengisahkan kopi dan cerita cinta antar barista dan penikmat kopi yang bersinggungan dengannya. Kopi yang awalnya b-aja bisa jadi semenarik itu saat udah terangkum dalam sebuah cerita. Profesi barista pun bukan sekedar “pembuat” kopi, namun juga seniman di mata saya.

Bernard Batubara dan Mas Gilang, mencintai kopi dengan cara mereka sendiri

Dan minggu lalu, saya berkesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang terlibat dalam karya sastra bertema kopi dan juga para profesional yang berkecimpung langsung dalam dunia kopi. Terdengar biasa aja, memang. Tapi, ada satu hal yang membuat saya makin antusias untuk datang: sang barista adalah seorang difabel.

Menjadi barista saja sudah sekeren itu. Apa jadinya kalau profesi ini dijalani oleh mereka penyandang disabilitas? 

Barista Inklusif, Bukan Barista Biasa

Kayak nama group vokal yha sub-judulnya. Tapi beneran deh, profesi barista itu sendiri menurut saya bukan profesi sembarangan. Harus presisi dalam penakarannya dan kreatif dalam penyajiannya. Saat profesi ini dilakoni oleh seorang difabel, pastinya ada tantangan tersendiri yang membuat profesi ini jadi makin beda dari yang lain.

Beruntung, saya dan beberapa temen blogger Jogja diberi kesempatan untuk ngobrol langsung seputar program Barista Inklusif di Pusat Rehabilitasi Yakkum akhir pekan lalu. Program ini terselenggara atas bantuan dari Program Peduli yang bekerja sama dengan BKVR (Barista & Kopi Lover) untuk pelatihannya. Para pembicara yang datang pun nggak kalah keren. Ada Bernard Batubara (penulis), Frischa Aswarini (penulis cerita Filosofi Kopi 2), Ranie Ayu Hapsari (Project Manager Program Peduli, Pusat Rehabilitasi YAKKUM) dan Mas Gilang (Barista Koffie Lover) selaku moderator.


Ngobrol Santai Seputar Barista Inklusif

Acara ngobrol santai diawali dengan cerita dari Bang Benz seputar awal mula ketertarikannya terhadap kopi. Sebagai seorang penulis, dia paling nggak bisa kalau nulis di tempat yang terlalu sepi seperti kos-kosan atau yang terlalu rame seperti pasar. Lingkungan yang mendukung dia untuk menulis adalah kafe atau kedai kopi yang nggak begitu rame. Ada suara, tapi nggak mengganggu.

Suatu ketika, Bang Benz ngerasa jenuh banget dengan pekerjaannya. Nulis dan baca tuh passion dia, tapi dia pernah berada di titik bosan nulis. Pokoknya males dan nggak mau bersinggungan sama sekali dengan kedua hal itu. Sampe suatu hari, dia coba hal lain yang “beda” dari biasanya.

Kalau biasanya dia nulis ditemani dengan suara mesin pembuat kopi dan sayup-sayup perbincangan barista dan juga pelanggan di sekitarnya, kala itu Bang Benz mencoba menjadi lakon yang juga ikut membuat kopi di sana. Dari situ, dia mulai belajar sedikit demi sedikit seputar kopi, cara membuatnya, dan ikut menyajikannya. Dari aksi ini pula, Bang Benz yang tadinya bosen nulis, jadi mulai nulis lagi. Kali ini, seputar kopi dan cerita cinta di balik pembuat dan penikmatnya.


Menurut Bang Benz, pembuatan kopi untuknya terasa cukup kompleks. Rumit sih, tapi malah ini yang menjadi ketertarikan sendiri untuknya. Dari kopi, Bang Benz jadi belajar lebih banyak hal baru, berkenalan dengan lebih banyak orang, dan mendapatkan ide nulis yang lebih variatif. Kopi pun bukan sekedar objek kuliner, melainkan subjek yang ikut merangkul semua orang yang terlibat dengannya.

Hal ini pula yang dirasakan oleh Kak Frischa. Kopi sendiri sudah jadi bagian dari tradisi daerah asalnya, yaitu Bali. Selain kopi, hal yang juga erat dengan dirinya adalah program inklusi. Kak Frischa mempunyai saudara kandung penyandang disabilitas. Sebagai saudara dari seorang difabel, dia paham betul stigma yang melekat di masyarakat tentang kemampuan dan kapabilitas orang-orang seperti saudaranya. Dengan alasan itulah, Kak Frischa mendukung adanya program Barista Inklusif untuk para difabel yang ingin menjadi barista.


Karena Kopi, Kita Setara

Dalam program Barista Inklusif ini, salah satu barista trainee-nya, Mas Eko, juga ikut berbagi cerita seputar pelatihan barista yang dijalaninya. Mas Eko merasa senang bisa menyalurkan kemampuannya untuk membuat kopi dan tidak hanya sekedar menjadi penikmat. Kesempatan pelatihan barista ini memberikan kesempatan kepadanya untuk berkarya, tentunya melalui kopi hasil racikannya.

Selaku project manager dari Barista Inklusif, Mbak Rani sadar betul kalau kopi bisa jadi media untuk para difabel terkoneksi dengan masyarakat di sekitarnya. Selama ini, mereka sering dianggap “tidak mampu” hanya karena “berbeda” dengan kebanyakan orang. Melalui kedai kopi gagasan Program Peduli dan Yakkum, Cupable Coffe, Mbak Rani berharap masyarakat bisa lebih menghargai orang-orang seperti Mas Eko dan para difabel lain. Acara ngobrol santai pun ditutup dengan icip-icip kopi hasil buatan para trainee Barista Inklusif dan fun battle antar para Barista Kofie Lover dan Barista Inklusif.


Dari hasil bincang-bincang dengan para pembicara, saya menangkap 2 hal yang layak dijadikan pedoman hidup: bersyukur dan berjuang. Bersyukur karena masih diberikan kesempatan hidup oleh Tuhan dan berjuang untuk melakukan apa yang menjadikan diri kita pribadi yang bahagia sebagai diri kita sendiri. Harapan saya, semoga program ini bisa melatih lebih banyak difabel untuk belajar menjadi pembuat kopi profesional dan bisa membuat usaha kedai kopinya sendiri. Amin!

Post a Comment

3 Comments

Onix Octarina said…
Ku juga baru tau kalo menyajikan kopi ada cara dan teknik khusus. Malah meski ada 2 orang diajari oleh barista, hasil dari kopi keduanya bisa punya rasa yang berbeda :)
Newbie said…
sekarang makin banyak pecinta kopi sehingga dimasadepan bakalan banyak orang yang bercita-cita untuk membuat warung kopi dan menjadi barista