Udah lama saya belum mengeluarkan uneg-uneg di blog sejak tulisan tentang menyerah agar tetap hidup dan berjuang. Tulisan tersebut terbit kurang lebih 9 hari sejak saya mendapatkan kabar yang kurang mengenakkan. Di satu sisi, saya berusaha tegar dan melakukan yang terbaik untuk bisa bertahan. Namun di sisi lain, saya lelah. Lelah dan mulai bertanya, untuk siapa saya mengusahakan ini?
Nggak banyak yang tau saat itu. Saya hanya cerita kepada beberapa orang terdekat. Saya menghindari orang-orang yang berpotensi menghakimi dan hanya bercerita kepada mereka yang biasa tulus mendengar tanpa penghakiman yang nggak saya perlukan. Saya bener-bener bersiap diri untuk segala macam kemungkinan, bahkan yang dianggap terburuk sekalipun.
Baca juga: 3 Pelajaran Berharga Setelah Sakit Selama 2 Minggu
Hidup terasa seperti roller coaster dalam rentan waktu kurang lebih 3 bulan terakhir. Namun 1.5 bulan pertama adalah masa yang sangat sulit. Saya orang yang paling nggak bisa bohong, tetapi saya bisa menjadi orang yang paling pintar berpura-pura di beberapa kondisi tertentu. Orang lain bahkan merasa apa yang saya alami terkesan mendadak. Padahal saya sudah mempersiapkannya jauh hari.
Walau begitu, rasanya saya tetap nggak siap saat keputusan itu tiba. Lagi-lagi saya pasang mindset jawara, menganggap bahwa ini hanya sebuah fase hidup yang wajar dialami seseorang. Namun sikap itu hanya bertahan sekitar 2 minggu. Minggu berikutnya saya merasa hancur sehancur-sehancurnya. Apa yang saya perjuangkan saat ini terasa sia-sia. Mempertanyakan self worth? Hampir setiap hari.
Baca juga: 5 Langkah Membuat Ruang Kerja di Kamar
Hanya orang tua dan pacar saya yang mengerti mengenai kondisi saya yang sebenarnya. Orang lain menganggap saya melenggang dengan anggun ke kesempatan yang lebih baik. Nggak saya pungkiri, memang banyak hal baik yang saya dapatkan selama beberapa bulan terakhir.
Saya bersyukur akan hal tersebut. Namun nggak jarang saya menghabiskan waktu hanya untuk berusaha merasakan apa yang sebenarnya saya rasakan. Hingga suatu hari, tangis saya pecah dan saya merasa lega setelahnya. Ternyata, efek dari berpura-pura kemarin benar-benar merusak sistem rasa yang saya miliki.
Baca juga: Polusi Asumsi yang Bikin Rendah Diri
Social media menjadi tempat saya berbagi kepura-puraan tersebut. Mereka yang hanya berteman dengan saya tanpa membaca blog ini mungkin mengira bahwa saya sedang di puncaknya dunia. Padahal secara mental dan emosional, mungkin saya sedang berada di dasar jurang. Saya bahkan sempat meringkuk di dasar jurang tersebut sambil menunggu sinyal untuk merangkak ke atas lagi.
It works, even though it's always been some series of ups and down.
At the end of the day, saya bersyukur. Or at least I try to practice my gratitude by appreciating small progress. Melatih rasa syukur ini juga ampuh mengurangi intensitas saya melempar tanya seperti "What if..." yang udah pasti hanya menarik mundur progres yang udah saya buat.
Baca juga: Menelaah Kembali Arti dari Kesuksesan
Banyak hal yang saya miliki tetapi nggak telihat karena saya sibuk mencari celah untuk menelaah apa yang saya nggak punya. Saya nggak mau membiarkan hal itu terjadi. I believe in Universe and God will always guide me. Saya percaya timing-Nya selalu tepat dan September akan menjadi waktu yang nggak kalah indah. September ceria, perlihatkanlah wujudumu!