Am I That Picky Millennial When It Comes To Career?



*sigh*

Lhah, belum-belum udah menghela nafas. Gimana yah mendeskripsikannya...

Jadi di postingan ini, saya murni mau curhat. Biarkanlah blog ini tetap bergenre gado-gado, yang penting hati saya lega karena terus terang saya nggak bisa nyimpan ini lama-lama sendirian. Saya butuh brainstorming dengan para pembaca blog ini. Siapa tau ada yang bisa ngasih saran atau bahkan insight supaya saya tercerahkan.

Jadi beberapa bulan ini suasana hati saya naik turun akibat mengalami kegalauan karir. Biasa lah, masih berada di fase quarter life crisis. Mungkin yang mengalami ini nggak hanya saya. Tapi yang berani mengakui bahwa dirinya sedang berada di fase quarter life crisis mungkin nggak sebanyak saya.

Maklum, umur 20an baru jaim-jaimnya juga dong.


Jadi sejak bulan Maret, saya coba ngelamar suatu lowongan pekerjaan yang, bisa dibilang, karir impian saya. Sebagai lulusan Pendidikan Bahasa Prancis yang tidak begitu expert dalam Bahasa Prancis, saya masih menaruh harapan besar untuk bisa bekerja di bidang pendidikan. 

Bukan ngajar, tapi sebagai staff. Karena kalo ngajar, saya merasa cuma bisa ngajar Bahasa Inggris sampe tingkat SD-SMP atau Bahasa Prancis tingkat pemula. Nggak banyak juga lowongan untuk latar belakang pendidikan saya. Lowongan ini, yang saya lamar, membuka bagian marketing di sebuah institusi pendidikan milik swasta. Maybe this is the time for me not just being a freelancer.

Jelas, saya antusias banget, dong!

Singkat cerita, setelah melalui proses panjang berupa interview, tes psikologi, dan forum group discussion, saya dipanggil untuk menghadap langsung sang pimpinan institusi. Posisi marketing, di institusi pendidikan, dengan saya yang bermodal pengetahuan digital marketing by experience. 

Saat ditanya masalah marketing yang bukan digital, langsung keringat dingin dan dag-dig-dug nggak karuan. Wawancara kali ini terasa intimidatif banget. Saya keluar dengan hati yang sudah kadung pesimis. Bhay karir impian, pikir saya waktu itu.

Lalu seminggu kemudian, saya lihat lowongannya dibuka lagi. Lowongan yang sebelumnya dibuka untuk “semua jurusan” diubah menjadi “lulusan Manajemen/Ilmu Komunikasi”. BHAY MAKSIMAL, pikir saya lagi. Sempet nggrundel, tapi akhirnya saya berusaha move on sambil memaksimalkan pegangan freelance yang sudah saya punya.


Sebulan kemudia, ada telpon dari nomor yang sebulan lalu menelpon saya untuk segera masuk ruang tes psikologi. Wedew, mosok iya sih saya dipanggil? Bener aja, sebulan berlalu, saya masih diinget dan dipanggil buat ikut training seleksi. 

EXCITED. BANGET. Yha gimana sih rasanya kalo selangkah lagi menuju karir yang didamba-dambakan? Jelas saya semangat banget buat belajar ini itu dan berusaha menguasai sedikit demi sedikit apa yang sekiranya akan saya hadapi nanti di lapangan.

Singkat cerita, lagi, saya diterima untuk mengikuti training berikutnya. Kali ini, sang pimpinan sudah menyiapkan “kejutan” untuk saya dan beberapa teman lain yang sudah diterima. Kejutan tersebut berupa posisi-posisi yang available untuk diisi sesegera mungkin, maksimal beberapa minggu setelah lebaran. 

Pada saat itu, saya, yang sudah berekspetasi tinggi untuk ditempatkan di Jogja, merasa sans banget. Saya merasa memenuhi kriteria untuk ditempatkan di kantor Jogja yang merupakan pusat dari institusi tersebut.

Tapi ternyata...

“Mbak Hanifa, nanti kalau nggak di Lampung, ya di Makassar. Posisinya sebagai kepala cabang”

Bentar...

APAAAAAAAAAAAAAA?

say whaa

Saya shock. Shock banget. Rasanya pengen nangis di tempat, tapi saya tahan sampe sholat Subuh kemudian hari karena saya super galau. Apalagi saat mendapati fakta bahwa saya mau dikirim ke sana untuk “membangun” sesuatu, sendirian. Ada supervisi sih, remote. Di lapangan, saya akan lebih sering sendirian, dong. Selain itu, fakta bahwa saya sama sekali belum siap untuk merantau, dan belum mau, juga bikin hati saya koyak nggak karuan.

“Pak, saya belum bisa menerima amanah sebesar itu... Saya sudah bilang saat wawancara dengan Anda kalau saya nggak siap untuk ditempatkan di luar Jawa.”

“Ya kalau gitu harus ikhlas dengan gaji kecil”

Dari situ, perasaan udah mulai nggak enak. Kok... rasanya... kayak... direndahkan, ya? Saat ditanya tentang kesiapan kami pun, si pimpinan juga belum memberi kejelasan tentang hak dan kewajiban. Salah satu temen tanya seputar kejelasan kontraknya untuk dipelajari lebih dulu, malah dibilang “belum mulai sudah nuntut macam-macam”.

Ini kayak dilepas ke antah berantah tanpa kompas, beneran.

Nah, sekarang saya mau tumpahin lagi beberapa poin yang bikin saya galau:

1. Saya suka dan ingin berkarir di bidang ini. Tapi, tantangan ini TERLALU BESAR untuk saya yang masih ingin menjajaki pekerjaan ini. I mean, this is too much of responsibility. Belum lagi, amanah tersebut mewajibkan saya untuk menanggung amanah beberapa divisi SENDIRIAN. That idea is not the best idea to start this whole thing.

2. Fakta bahwa saya ditempatkan di daerah yang tidak saya inginkan, duh... Kalau jadi guru SM3T sih udah pasti harus siap yak. Kan udah rembugan di depan dan udah tau konsekuensinya. Lha ini, saya udah bilang saat wawancara kalau saya nggak siap SAMA SEKALI untuk ditempatkan di luar Jawa. Kok ya... kok ya... kok ya giniii?

3. Belum ada kontrak kerja yang jelas dan bisa dipelajari, tapi udah diminta bersiap-siap. Setelah lebaran, lagi. This sounds so wrong...

4. “Kalau kamu nggak mau, ya harus ikhlas dengan gaji kecil”. HAHAHA. WOW. How generous.

Image result for clapping gif


Jadi, apa keputusan saya?

Saya nggak akan ngomong apa keputusan saya. Dari curhatan ini, saya pengen tanya balik ke kamu, yang sedang membaca postingan ini. 

  1. Kalau kamu ada di posisi ini, apa yang akan kamu lakukan? 
  2. Sebagai calon karyawan, salahkah saat kita merasa perlu mempertanyakan “kejelasan-kejelasan” seputar hak dan kewajiban sebelum mulai bekerja untuk sebuah perusahaan? 
  3. Apakah pertimbangan-pertimbagan yang saya galaukan ini membuat saya masuk dalam golongan milenial yang banyak mau/ngeyel/ bahkan, picky?
Tolong jawabin buat saya yak... Saya beneran pengen dapet insight atau saran dari kamu karena, jujur, galau. Saya paham kalau ngga ada pekerjaan yang benar-benar aman di luar sana. Kalau misal saya harus move on dari sini, kira-kira apa yang harus saya lakukan dari sekedar "mencari yang baru"? Gimme your opinion, ya!


Post a Comment

4 Comments

Hai Mba Hanifa yang lagi bingung. Kalau menurut saya sudah sesuatu yang wajar jika kita bertanya tentang hak dan kewajiban kita. Kalau di awalnya aja udah nggak jelas gitu merekanya, khawatirnya nanti akan semakin banyak ketidak jelasan lain lagi yang bikin kita makin nggak enak, apalagi kalau kitanya dilempar langsung jauh tanpa kejelasan di awal. Otomatis kalau nggak nyaman nanti akan mengganggu ke pekerjaan juga jadinya. Tapi, itu menurut saya ya. Kalau Mba Hanifa bingung bisa sambil sholat istikhoroh jg sampe menemukan kemantapan hati. Semoga dimudahkan ya Mba urusannya ��
BlogSabda.com said…
saya akan bilang "byeeeee" paling dulu diantara teman-teman yang lain mbak.

Jelas saja, tampaknya lebih banyak "mudharatnya" bagi saya pekerjaan ini. Penempatan diluar, tidak ada kejelasan kontrak. Yang paling sebel sebenarnya ketika diremehkan mba. Gimana pun kita kan punya harga yang harus di hargai.
Dyah Yasmina said…
Wah... kalau ada tawaran pekerjaan yang nggak ada penjelasannya, nggak usah milenial, angkatan sebelumnya juga ogah terima. Lagian, pilihan pekerjaan kan banyak. Dari staf admin NGO sampai staf HR di cruise ship ... lulusan pendidikan Perancis juga bisa punya banyak pilihan.
Arif Munandar said…
Kalau sampai minim supervisi seperti ini, saya juga akan memandang rendah company tersebut. Kita yang ditempatkan di kantor cabang dan bergabung dengan mereka kan memang ingin berkontribusi. Kalau mereka tidak menghargai niat kontribusi kita buat apa? Kalau dipikir lagi, kredibilitas kantor cabang mereka kan dipertaruhkan, semudah itukah untuk diserahkan kepada 'newbie'.

Just my 2 cents.