I Thought I Knew Better
Pagi ini saya bertemu dengan salah satu dosen di bangku perkuliahan S1 dulu. Saya nggak begitu dekat dengan beliau saat kuliah, tetapi beliau orang tua dari temen SMA saya. Beliau juga menjabat sebagai kepala jurusan ketika saya masih aktif sebagai mahasiswa. Saya inget banget dapet nilai B+ dan itu termasuk salah satu nilai yang cukup tinggi di kelas. Beliau terkenal sebagai dosen yang cukup pelit nilai dan nggak mudah ngasih A.
Tapi saat bertemu dengannya pagi tadi, beliau berkata, "Aku bangga sama kamu, Hanifa". Dia mengatakannya dengan menepuk pundak saya dan pergi. Saya berhenti sejenak dan menatap punggungnya sambil membatin, "Seandainya ini bukan mimpi".
Baca juga: How Safe is The "Safe" Job?
Ya, itu hanya mimpi. Mimpi yang terasa sangat nyata. Udah lama banget saya nggak denger kata-kata seperti itu dan makin ke sini saya merasa nggak worth untuk dapet validasi tersebut. Saya kira masuk umur 30 tuh bisa bikin saya figure everything out. Nyatanya nggak sama sekali.
Well, probably a thing or two but it definitely doesn't go near everything to be figured out.
Semenjak kehilangan pekerjaan 3 bulan yang lalu, saya merasa kembali lagi ke fase krisis eksistensi. Saya mengalami struggle di area pekerjaan karena perubahan manajemen dan adanya perbedaan sudut pandang mengenai ekspektasi yang sulit banget dicari titik temunya.
Tekanannya nggak main-main. Saya sempet ngerasa serba salah dan ada ketidaktransparan mengenai ekspektasi yang diberikan ke saya. Di satu sisi, ada pihak yang membantu dan mengapresiasi hasil kerja saya kala itu, tapi ada juga pihak yang merasa saya nggak becus melakukan pekerjaan saya. Berdasarkan data, saya achieve target. Tapi secara ekpektasi manajemen, saya tetap dinilai kurang.
Baca juga: September Ceria, Apakah Akan Terlihat Wujudnya?
Walau saya sudah mengamati tanda-tanda bahwa saya ditekan untuk mundur secara sukarela, saya tetep berusaha keras untuk membuktikan bahwa saya worth untuk di-keep dan menolak resign. Hingga pada akhirnya saya di-lay off di bulan Agustus. Later that I know, posisi saya ternyata memang nggak dibutuhkan lagi.
I Thought I Knew Better
Saya merupakan salah satu yang beruntung. Di tengah badai lay off yang sedang terjadi saat ini, saya termasuk yang masih bisa melanjutkan hidup dengan layak. Memang saya sudah mempersiapkan sejak sebulan lebih tentang bagaimana saya harus mengatur keuangan dan strategi untuk bekerja kembali. Saya juga masih melanjutkan freelance sebagai blogger dan content creator, serta memiliki berbagai akses dan fasilitas untuk belajar.
Tetapi ada kalanya, saya merasa masih stuck dan bimbang. Saya kira dengan segala persiapan yang sudah dilakukan, saya bisa mengerti lebih baik tentang apa yang perlu saya lakukan selanjutnya. Nggak juga. I just feel... lost.
Baca juga: 3 Pelajaran Berharga Setelah Sakit Selama 2 Minggu
Saya mencoba kembali menganalisis, kenapa kok perasaan semacam ini muncul lagi. Bukankah seharusnya udah lewat ya masa-masa galau seperti ini? Apalagi saya udah masuk fase umur kepala 3, masak sih kebingungan seperti yang dialami dulu di masa quarter life crisis masih terjadi?
Nggak ada jawaban yang pasti. Pada akhirnya saya cuma bisa menyimpulkan bahwa selama ini saya selalu mengasosiasikan diri saya sebagai apa yang saya punya dan lakukan, seperti pekerjaan, contohnya. Hilangnya pekerjaan tersebut membuat saya bingung, identifikasi personal semacam apa yang tepat untuk saya?
So, What's Next?
Tapi keadaan ini nggak membuat saya menyerah. Emang sering kali saya masih merasa insecure, mengingat kondisi ekonomi global saat ini juga sedang nggak menentu. Tiap buka LinkedIn, selalu ngerasa ketinggalan. Buka media sosial lain pun juga ya ampun... orang-orang kok udah pada sukses sebelum umur 30 gitu rahasianya apaaa?
Baca juga: 5 Cita-cita yang Ingin Saya Wujudkan di Umur 30an
Saya ngerti banget kalau sikap ini tentunya nggak akan mengubah keadaan saya jadi lebih baik. Sebanyak apapun privilege yang saya miliki, tetep aja pemutusan kerja menjadi hal yang berat untuk diterima. Tetapi saya juga berusaha mengingatkan diri untuk terus melangkah maju.
Mengutip apa yang diyakini Mbak Dita, istri dari Mas Pinotski, tentang "pixel by pixel". Progress, sekecil apapun, adalah progress. Mumpung saya nggak perlu memenuhi ekspektasi orang lain untuk berprogres di luar kemampuan, saya akan manfaatkan momen ini untuk berprogres semaksimal yang saya bisa usahakan.
I probably didn't know better, but at least I understand myself better. Semangat untuk kamu yang mungkin juga sedang ada di posisi ini. We will figure this out.
23 comments